Fatwa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah
Pertanyaan :
“Apakah ucapan selamat di hari raya dan apa yang banyak diucapkan
oleh orang-orang : ‘Iduka mubarak (semoga hari ‘Idmu diberkahi) serta
ucapan yang semisal memiliki dasar hukum syariat ataukah tidak? Jika memiliki
dasar hukum syariat, bagaimana seharusnya ucapan yang benar? Berilah fatwa
kepada kami, semoga Anda diberi pahala.”
Beliau rahimahullah menjawab :
“Adapun ucapan selamat di hari raya, di mana sebagian mereka mengucapkan
kepada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘id seperti :
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك
“Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan darimu sekalian, dan
semoga Allah menyempurnakannya atasmu,”
dan yang
semisalnya, telah diriwayatkan dari sebagian shahabat bahwasanya mereka
melakukannya. Para ulama memberi keringanan terhadap perbuatan ini, seperti Imam
Ahmad dan yang lainnya. Akan tetapi Imam Ahmad berkata, “Aku tidak memulai
mengucapkan selamat kepada seseorang. Namun jika ada orang yang memberi selamat
kepadaku akan kujawab.”
Yang demikian itu karena menjawab tahiyyah
(penghormatan) adalah wajib, adapun memulai mengucapkan selamat kepada orang lain
bukanlah bagian dari sunnah yang dianjurkan dan bukan pula sesuatu yang
dilarang (dalam syariat). Barangsiapa yang melakukannya maka ia memiliki teladan,
dan orang yang meninggalkannya pun memiliki teladan. Wallahu a’lam.
Sumber : Majmu’ Fatawa 5/430
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan :
“Apa hukum ucapan selamat hari ‘Id? Apakah ada bentuk ucapan
tertentu?”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Hukum ucapan selamat hari ‘Id adalah boleh dan tidak ada bentuk
ucapan khusus. Bahkan apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang itu boleh
selama bukan perbuatan dosa.”
Sumber : Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin, bab Shalatul ‘Idain 16/129
Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah juga
ditanya,
“Apa hukum berjabat tangan, berpelukan dan saling mengucapkan
selamat hari raya setelah shalat ‘Id?”
Beliau rahimahullah menjawab :
“Hukum semua perbuatan ini tidaklah mengapa. Karena
orang-orang yang melakukanya tidak bermaksud untuk beribadah
dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla, melainkan hanya sekedar melakukan tradisi,
saling memuliakan dan menghormati. Selama sebuah tradisi tidak dilarang oleh syariat,
maka hukum asal padanya adalah boleh, sebagaimana
dikatakan :
وَالْأَصْلُ
فِي
الْأَشْيَاءِ
حِلٌّ
وَمَنْعُ
عِبَادَةٍ
إِلَّا
بِإِذْنِ
الشَّارِعِ
“Hukum asal pada segala sesuatu adalah halal, sedangkan (hukum
asal) ibadah adalah terlarang kecuali dengan adanya izin dari Pembuat syariat.””
Sumber : Majmu Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin, 16/128.
Komentar
Posting Komentar