SEBELAS KARAKTER IBAADUR RAHMAAN

Gambar
SEBELAS KARAKTER IBAADUR RAHMAAN (QS. AL FURQON AYAT 63-77) =========== 🌷 *PENDAHULUAN* Allah menceritakan sosok hamba-hamba teladan kepada kita untuk kita tiru kebaikan mereka, agar kita mendapatkan pahala dan kedudukan yang sama dengan mereka. Allah berfirman : “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.” Mereka itulah yang dikenal dengan IBAADUR RAHMAN (Hamba-Hambanya Allah Yang Maha Pengasih). Allah menyebutkan SEBELAS KARAKTER/ CIRI mereka dengan rinci di dalam Al-Qur’an (QS. Al-Furqan : 63-77). 1️⃣ CIRI PERTAMA: *Rendah hati dan menyikapi kebodohan orang dengan cara yang baik* وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا Allah berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha

Bolehkah Bermadzhab?




Bolehkah Bermadzhab? (Rincian Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Pertanyaan:

Apa hukum bermadzhab? Apakah bermadzhab termasuk perbuatan tercela? Apa hukum menyandarkan diri kepada madzhab tertentu seperti Al-Hambali, Asy-Syafi’i dan Al-Maliki?

Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

“Permasalahan ini memiliki tiga perincian:

Pertama, seorang yang memiliki kemampuan ilmiyyah dan keahlian ijtihad, artinya syarat-syarat berijtihad telah ada pada dirinya, maka ia tidak boleh bermadzhab, bahkan ia wajib melihat dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu mengambil apa yang nampak kebenarannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak ada seorang pun yang mencapai tingkatan ini selain para imam besar seperti imam yang empat dan ulama yang telah sampai derajat mujtahid, ia tidak diperkenankan taklid. Sebab ia tidak membutuhkan taklid, ia diperintahkan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka memang mampu untuk hal itu. Ia tidak boleh taklid (mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya)

Kedua, penuntut ilmu yang keilmuannya telah mapan, ia belum sampai pada derajat mujtahid. Ia boleh menyandarkan dirinya kepada salah satu dari madzhab yang empat seperti Al-Hambali, Al-Hanafi, Asy-Syafi’i atau Al-Maliki. Namun ia mengambil pendapat yang lebih kuat (rajih) dengan dalilnya dari pendapat imam (madzhabnya) atau imam (madzhab) lain, maupun pendapat para ulama yang lebih kuat menurut pandangannya ditinjau dari dalil yang dipakai

Ketiga, penuntut ilmu pemula dan orang awam, mereka boleh mengikuti salah satu dari madzhab yang empat dan bertanya kepada ulama. Allah ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ulama jika kalian tidak mengetahui” [QS. An-Nahl: 43]

Hendaklah ia bertanya kepada ulama yang tsiqah menurutnya dari sisi ilmu dan agama, ia mengambil apa yang difatwakan ulama tersebut. Ia wajib taklid, seandainya ia tidak taklid tentu ia akan celaka.

Manusia dalam kondisi ini memiliki tiga tingkatan:

Pertama, mujtahid mutlak, ia tidak boleh taklid

Kedua, mujtahid madzhab, ia boleh taklid namun tidak taklid tanpa mengetahui dalilnya, ia harus men-tarjih (memilih pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil)

Ketiga, seorang yang tidak memiliki kemampuan (berijtihad), ia belum mencapai tingkat pertama maupun kedua, ia bukan mujtahid mutlak, bukan pula mujtahid madzhab, ia wajib taklid kepada ulama seperti imam madzhab yang empat dan bertanya kepada ulama yang tsiqah menurutnya dari sisi agama dan ilmu. Ia bertanya kepada ulama dan mengambil apa yang difatwakan ulama tersebut. [As’ilah Syarh Zaadul Mustaqni’, Kitab Ath-Thaharah]

Sumber: Al-Ijabat Al-Muhimmat fil Masyakil Al-Mulimmah, 2/82-83

Artikel abul-harits.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Harus Sabar dalam Menuntut Ilmu

Tabir Pembatas di Dalam Masjid