Judul Khutbah : Haramnya Beranggapan Sial dengan Bulan
Shafar dan Selainnya
Kota : Al Malaz, Riyadh, Arab Saudi
Masjid : Masjid Jami’ Al Amir Mut’ib Al
Gharbi
Khatib : Syaikh Shalih bin Fauzan Al
Fauzan hafidhahullah
Kerangka Khutbah :
1. Hakikat Anggapan Sial dan Thiyarah
2. Haramnya Anggapan Sial dan Thiyarah
3. Tidak Ada Thiyarah, Anggapan Sial dengan Burung Hantu
dan Bulan Shafar
4. Ketika Mereka Mencela Allah
Tujuan : Peringatan dari Anggapan Sial dan
Thiyarah serta Penjelasan Akan Haramnya Hal Tersebut
الحمد لله الذي له ما في السماوات وما
في الأرض، وله الحمد في الآخرة وهو الحكيم الخبير، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده
لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله
البشير النذير، والسراج المنير، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان،
وسلم تسليماً.
Amma ba’d,
Ayyuhan nas, bertakwalah
kepada Allah dan gantungkan harapan-harapan kalian kepada-Nya. Bertawakallah kepada-Nya,
harapkanlah pahalaNya, dan takutlah akan hukumanNya.
فَابْتَغُوا
عِندَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah
Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan.”
(Al ‘Ankabut : 17)
Di antara manusia
ada orang-orang yang beranggapan sial dengan individu dan
waktu-waktu tertentu, dan menyangka bahwa dia ditimpa kesialan darinya karena
individu atau waktu itu sendiri, bukan dengan takdir Allah. Ini adalah thiyarah
yang dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah beliau
kabarkan bahwa perbuatan itu termasuk kesyirikan. Karena orang yang melakukan
tathayyur dan beranggapan sial percaya bahwa apa yang menimpa mereka berupa
hal-hal yang tidak disenangi itu berasal dari kesialan makhluk seperti waktu,
tempat, atau seseorang sehingga diapun membenci orang, waktu, atau tempat itu
serta lari darinya karena menyangka bahwa makhluk-makhluk tadi akan
mendatangkan kesialan baginya. Dia lupa atau pura-pura
bodoh bahwa apa yang menimpanya adalah dengan qadha dan qadar Allah, serta
dengan sebab dosa orang itu. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah tentang
umat-umat yang kafir bahwa mereka bertathayyur, beranggapan sial dengan
orang-orang yang merupakan sumber kebaikan, yaitu para nabi dan orang-orang
beriman . Allah mengatakan tentang kaum Fir’aun:
وَإِن
تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ
“Dan jika mereka
ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan
orang-orang yang besertanya.” (Al A’raf : 131).
Demikian pula Tsamud,
mereka beranggapan sial dengan nabi mereka, yaitu Shalih ‘alaihis salam :
قَالُوا
اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَن مَّعَكَ
“Mereka menjawab:
"Kami bernasib malang disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu."
“(An Naml : 47).
Demikian juga
orang-orang musyrik di Arab, mereka beranggapan sial dengan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana Allah berfirman
tentang mereka:
وَإِن
تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ
عِندِ اللَّهِ وَإِن تُصِبْهُمْ
سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ
مِنْ عِندِكَ
“Dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah",
dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini
(datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". (An Nisa’ : 78).
Maka Allah membantah
mereka bahwa apa yang menimpa mereka berupa hukuman-hukuman dan hal-hal yang
tidak disenangi adalah dengan takdir Allah serta dengan sebab dosa-dosa mereka.
مَّا
أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن
نَّفْسِكَ
“Apa saja nikmat
yang kamu peroleh maka itu adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (An Nisa’ : 79).
Ini termasuk bentuk dari
terbaliknya fitrah mereka, di mana mereka beranggapan jelek atau sial dengan
orang yang merupakan sumber kebaikan.
‘Ibadallah, di
antara anggapan sial dan tathayyur adalah apa yang diyakini oleh orang-orang
Jahiliyyah tentang bulan Shafar, bahwa bulan itu adalah bulan sial. Sehingga
merekapun enggan untuk melakukan amalan-amalan yang dibolehkan yang biasanya
mereka lakukan di bulan yang lain. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan batilnya anggapan tersebut dengan sabda beliau :
لَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا
صَفَرَ
“Tidak
ada penyakit menular dan tidak ada pula Hamah (merasa sial dengan adanya burung
hantu, edt.), dan tidak ada pula (merasa sial dengan) bulan Shafar.” (HR Imam
al-Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220)
Hadits tersebut menafikan
apa yang dahulu diyakini oleh orang-orang Jahiliyyah bahwa penyakit-penyakit
bisa menular dengan sendirinya tanpa disertai keyakinan akan takdir Allah
terhadap hal itu. Allah ta’ala berfirman :
مَا
أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي
الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا
“Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya.” (Al Hadid : 22).
Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam : وَلَا
هَامَةَ
الهامة maknanya adalah burung hantu. Maksudnya adalah menafikan keyakinan orang-orang Jahiliyyah tentangnya bahwa jika burung
itu hinggap di atas rumah salah seorang dari mereka, mereka merasa akan
mendapat kesialan, dan yakin bahwa dia atau salah seorang anggota keluarganya
akan mati. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan hal itu dan menyatakan batilnya
anggapan tersebut.
Ucapan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : ولا صفر
Menurut pendapat yang shahih adalah bahwa
orang-orang Jahiliyyah dahulu beranggapan sial
dengan bulan Shafar. Mereka mengatakan : “Sesungguhnya bulan itu adalah bulan
sial.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan batilnya anggapan tersebut, dan beliau menjelaskan
bahwa bulan Shafar tidak memiliki pengaruh itu. Bulan itu sama seperti
waktu-waktu yang lain yang dijadikan oleh Allah sebagai kesempatan untuk
melaksanakna amalan-amalan yang bermanfaat.
Keyakinan Jahiliyyah
ini masih terdapat pada sebagian orang sampai hari ini. Di antara mereka ada
yang beranggapan sial dengan bulan Shafar. Sebagian dari mereka ada yang
beranggapan sial dengan hari-hari tertentu seperti hari Rabu, Sabtu, atau hari
lain sehingga mereka tidak mau melaksanakan pernikahan pada hari-hari tersebut.
Mereka meyakini atau menyangka bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut tidak
akan diberkahi. Hal ini sebagaimana orang-orang Jahiliyyah dahulu beranggapan
sial dengan bulan Syawal sehingga tidak mau melaksanakan pernikahan pada bulan
itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh telah menunjukkan batilnya anggapan tersebut, di mana
beliau menikahi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di bulan
Syawal. Begitu pula beliau menikah dengan Ummu
Salamah radhiallahu ‘anha di bulan
Syawal.
Ayyuhal muslimun,
sesungguhnya kebaikan, kejelekan, nikmat-nikmat, dan berbagai macam
musibah, semua itu adalah dengan takdir Allah.
قُلْ
كُلٌّ مِّنْ عِندِ اللَّهِ
“Katakanlah:
"Semuanya (datang) dari sisi Allah".” (An Nisa’ : 78)
Dialah Allah yang
menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih. Dan apa yang menimpa para hamba
berupa kejelekan dan hukuman, maka sesungguhnya Allah telah mentakdirkan hal
itu atas mereka karena dosa-dosa dan kemaksiatan mereka.
وَمَا
أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja
musibah yang menimpa kalian maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian
sendiri.” (Asy Syura’ : 30).
Makhluk tidak
memiliki campur tangan dalam menetapkan dan mengadakannya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاعْلَمْ
أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ
يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى
أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ
عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفِ
“Ketahuilah
sesungguhnya jika suatu umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu dengan
sesuatu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali apa yang
telah Allah tetapkan bagimu. Dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu dengan
sesuatu , niscaya mereka tidak bisa mencelakakanmu kecuali dengan apa yang
telah Allah tetapkan bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering. (Riwayat
Tirmidzi, dan beliau berkata : Hadits hasan shahih).
Hal ini tidaklah
menafikan bahwa Allah menjadikan sebagian makhluk sebagai sebab datangnya
kebaikan atau kejelekan. Akan tetapi bukan sebab-sebab itulah yang menciptakan
kebaikan dan kejelekan tadi. Hal itu kembali kepada Pencipta sebab tersebut,
yaitu Allah Yang Maha Suci. Yang dituntut dari seorang hamba adalah
melaksanakan sebab-sebab kebaikan dan menjauhi sebab-sebab kejelekan. Allah
ta’ala berfirman :
وَلَا
تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ
إِلَى التَّهْلُكَةِ
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah
kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al
Baqarah : 195).
Al Hafidz Ibnu Rajab
rahimahullah berkata :
Adapun mengkhususkan
anggapan sial dengan sebuah waktu seperti bulan Shafar atau yang lainnya maka
itu adalah perbuatan yang tidak benar. Seluruh waktu adalah ciptaan Allah
ta’ala. Di dalamnya terjadi perbuatan-perbuatan anak Adam, sehingga setiap
waktu yang digunakan oleh seorang mu’min untuk ketaatan maka itu adalah waktu
yang diberkahi baginya. Dan setiap waktu yang digunakan oleh seorang hamba untuk
bermaksiat kepada Allah maka itu menjadi kesialan baginya. Kesialan atau
kejelekan pada hakikatnya terdapat pada kemaksiatan. Kemaksiatan dan dosa-dosa
akan menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla murka. Jika Allah telah murka kepada
seorang hamba, maka orang itu akan celaka di dunia dan akhirat. Sebagaimana
ketaatan dapat mendatangkan keridhaan Allah Yang Maha Suci. Jika Allah telah
ridha kepada hambaNya, maka orang itu akan bahagia di dunia dan akhirat.
Orang yang
bermaksiat menjadi sebab kejelekan bagi dirinya sendiri dan orang lain, karena
tidak ada jaminan keamanan bahwa dirinya tidak akan ditimpa adzab, lalu adzab
itu merata mengenai orang lain, terkhusus orang-orang yang tidak mengingkari
kemaksiatannya. Sehingga menjauhi orang itu adalah suatu keharusan. Demikian
pula tempat-tempat maksiat harus dijauhi karena khawatir akan turunnya adzab,
sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
para Shahabat beliau ketika melewati perkampungan kaum Tsamud di daerah Al Hijr
:
لَا تَدْخُلُوا عَلَى هٰؤُلَاءِ
الْمُعَذَّبِيْنَ إِلَّا أَنْ تَكُوْنُوا بَاكِيْنَ خَشْيَةَ أَنْ يُصِيْبَكُمْ مَا
أَصَابَهُمْ
“Janganlah kalian memasuki daerah
orang-orang yang diadzab ini kecuali dalam keadaan menangis karena khawatir
kalian akan ditimpa apa yang telah menimpa mereka.”
Maka berhijrah atau menjauh dari
tempat-tempat maksiat serta para pelaku maksiat merupakan bentuk hijrah yang
diperintahkan, karena orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari
hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Ibrahim bin Adham rahimahullah
berkata :
مَنْ
أَرَادَ التَّوْبَةَ فَلْيَخْرُجْ مِنَ الْمَظَالِمِ، وَلْيَدَعْ مُخَالَطَةَ مَنْ
كَانَ يُخَالِطُهُ – يَعْنِي: العُصَاةَ-، وَإِلَّالَمْ يَنَلْ مَا يُرِيْدُ
“Barangsiapa yang ingin bertaubat
maka hendaknya dia keluar dari berbagai bentuk kedhaliman dan meninggalkan
pergaulan dengan orang-orang yang dulunya dia bergaul dengannya – yaitu para pelaku maksiat -. Jika dia tidak melakukannya,
maka dia tidak akan sampai kepada keinginannya (untuk bertaubat).”
Maka berhati-hatilah
terhadap dosa, karena dosa merupakan kesialan dan hukumannya sangat pedih.
Tempat-tempat pada asalnya suci dan bersih, tetapi dosa-dosa para hamba
mengotori dan merusaknya. Waktu-waktu yang ada juga merupakan kesempatan untuk
beramal baik, akan tetapi hamba mengotorinya dengan amalan jelek. Sebagaimana
dikatakan :
نَعِيْبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا وَمَا لِزَمَانِنَا عَيْبٌ سِوَانَا
Kita mencela zaman
kita padahal aibnya ada pada kita
Dan zaman kita
tidaklah memiliki aib selain kita
Ibadallah, maka
bertakwalah kepada Allah. Ramaikan rumah-rumah dan waktu-waktu kalian dengan
ketaatan kepada Allah. Gantungkan hati kalian dengan takut, berharap, dan cinta
kepada Allah. Hendaknya kalian mencela diri sendiri, dan ketahuilah bahwa apa
yang menimpa kalian berupa perkara yang tidak kalian senangi sebabnya adalah
dosa-dosa kalian, bukan karena kesialan waktu dan tertentu. Sebabnya adalah
jeleknya amala seseorang. Barangsiapa yang menanggap sial dengan bulan, hari,
atau jam tertentu, atau mencela sesuatu dari waktu tersebut berarti dia telah
mencela dan menyakiti Allah ta’ala.
Sebagaimana terdapat dalam Ash Shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. beliau bersabda : “Allah
ta’ala berfirman :
يُؤْذِيْنِي
ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Anak Adam telah
menyakitiKu. Dia mencela masa, padahal Akulah (Pengatur) masa itu, aku
membolak-balikkan malam dan siang.”
Dalam sebuah riwayat :
لَا
تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
“Janganlah kalian
mencela masa, karena Allah Dialah Pengatur masa itu.”
Al Imam Al Baghawi
rahimahullah berkata dalam Syarhus Sunnah :
“Maknanya adalah
bahwa di antara kebiasaan orang-orang Arab dahulu adalah mencela masa, yaitu
mencercanya ketika ada musibah. Karena dahulu mereka menyandarkan apa yang
menimpa mereka berupa musibah dan hal-hal yang dibenci kepada masa. Mereka
mengatakan : ‘Mereka ditimpa bencana masa,’ dan ‘Mereka telah dibinasakan oleh
waktu.’ Jika mereka telah menyandarkan kepada masa apa yang menimpa mereka
berupa hal-hal yang menyusahkan, maka mereka mencela Dzat yang mengatur waktu
itu, sehingga kembalinya celaan itu adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab
Dialah Pengatur waktu secara hakiki. Dan apa yang berjalan di dalam waktu
berupa kebaikan dan kejelekan itu adalah dengan kehendak Allah. Kebaikan
merupakan karunia Allah, sedangkan kejelekan adalah dengan sebab dosa-dosa dan
maksiat para hamba.”
وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ
يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِندِ اللَّهِ ۖ
وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِندِكَ ۚ
قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِندِ اللَّهِ ۖ
فَمَالِ هَٰؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا ﴿٧٨﴾ مَّا أَصَابَكَ مِنْ
حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ
وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ
وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ
وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا ﴿٧٩﴾ مَّن يُطِعِ
الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ
وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ﴿٨٠﴾
“Dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah",
dan jika mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini
(datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya
(datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
Apa saja nikmat yang
kamu peroleh maka itu adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu,
maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia, dan cukuplah Allah menjadi saksi.
Barangsiapa yang
mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (An Nisa’ : 78-80).
Komentar
Posting Komentar