Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

SEBELAS KARAKTER IBAADUR RAHMAAN

Gambar
SEBELAS KARAKTER IBAADUR RAHMAAN (QS. AL FURQON AYAT 63-77) =========== 🌷 *PENDAHULUAN* Allah menceritakan sosok hamba-hamba teladan kepada kita untuk kita tiru kebaikan mereka, agar kita mendapatkan pahala dan kedudukan yang sama dengan mereka. Allah berfirman : “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.” Mereka itulah yang dikenal dengan IBAADUR RAHMAN (Hamba-Hambanya Allah Yang Maha Pengasih). Allah menyebutkan SEBELAS KARAKTER/ CIRI mereka dengan rinci di dalam Al-Qur’an (QS. Al-Furqan : 63-77). 1️⃣ CIRI PERTAMA: *Rendah hati dan menyikapi kebodohan orang dengan cara yang baik* وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا Allah berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha

Bolehkah Bermadzhab?

Gambar
Bolehkah Bermadzhab? (Rincian Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan) Pertanyaan: Apa hukum bermadzhab? Apakah bermadzhab termasuk perbuatan tercela? Apa hukum menyandarkan diri kepada madzhab tertentu seperti Al-Hambali, Asy-Syafi’i dan Al-Maliki? Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab: “Permasalahan ini memiliki tiga perincian: Pertama, seorang yang memiliki kemampuan ilmiyyah dan keahlian ijtihad, artinya syarat-syarat berijtihad telah ada pada dirinya, maka ia tidak boleh bermadzhab, bahkan ia wajib melihat dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu mengambil apa yang nampak kebenarannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak ada seorang pun yang mencapai tingkatan ini selain para imam besar seperti imam yang empat dan ulama yang telah sampai derajat mujtahid, ia tidak diperkenankan taklid. Sebab ia tidak membutuhkan taklid, ia diperintahkan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka memang mampu untuk hal itu. Ia tidak boleh taklid (mengikuti pendapat seseorang tanpa menget

KEWAJIBAN SEORANG MUSLIM SETELAH BERLALUNYA RAMADHAN

Gambar
Ramadhan telah berlalu dan berganti dengan bulan Syawal. Ramadhan telah membawa berita kepada Allah tentang apa yang dilakukan hamba-hambaNya di bulan tersebut. Ada yang taat, shalat, membaca al Qur’an, bersedekah, dan melakukan perbuatan baik yang lainnya. Namun tak kurang juga yang durhaka dan maksiat kepada Allah di bulan Ramadhan. Tak puasa, tak shalat, dan melakukan banyak kelalaian tanpa ada rasa bersalah. *RAMADHAN BUKAN AKHIR* Berlalunya bulan Ramadhan bukan berarti berakhir pula semangat kita dalam beribadah kepada Allah. Karena kewajiban kita kepada Allah tetap harus kita tunaikan hingga ajal menjemput. Allah ta’ala berfirman, وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan beribadahklah kepada Rabbmu sampai datangnya keyakinan” *(QS. Al Hijr: 99)* Keyakinan dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama dengan kematian. Artinya beribadahlah kepada Allah hingga ajal datang menjemput.  Ibadah tidak terbatas di bulan Ramadhan saja, namun ibadah harus terus di lakukan hingga ki

Panduan Shalat Gerhana

Gambar
Jika seseorang menyaksikan gerhana, hendaklah ia melaksanakan shalat gerhana sebagaimana tata cara yang nanti akan kami utarakan, insya Allah. Lalu apa hukum shalat gerhana? Pendapat yang terkuat, bagi siapa saja yang melihat gerhana dengan mata telanjang, maka ia wajib melaksanakan shalat gerhana. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ  ”Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan shalat.”2 Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah. Catatan:  *Jika di suatu daerah tidak nampak gerhana, maka tidak ada  pelaksanaan shalat gerhana*. Karen

CARA MENAFSIRKAN AL-QURAN

Gambar
*Oleh : Al Ustadz Abu Muhammad Fauzan Al Kutawy hafizhahullah* Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan sumber penafsiran Al-Quran ada empat : 1. Tafsir Alquran dengan Alquran. 2. Tafsir Alquran dengan hadits Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. 3. Tafsir Alquran dengan ucapan para Sahabat. 4. Tafsir Alquran dengan ucapan para Tabi'in. [Muqaddimah Ushul At Tafsir (93)] 1. Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran. Adalah cara tafsir yang paling utama dan paling agung, karena Alquran adalah Kalamulloh (Firman Allah), maka tentu Allah ta'ala lebih mengetahui maksud dari firman-Nya sehingga penjelasan langsung dari Allah adalah perkara yang paling agung dan penuh dengan kebenaran. Baca selengkapnya >>>>> di web/blog resmi *Ustadz Fauzan Al Kutawy hafizhahullah* http://umaimah-al-bughisiyyah.blogspot.co.id/2018/04/cara-menafsirkan-al-quran-edisi-01.html

Selama Masih Ada Wabah Berlaku Keringanan Shalat di Rumah

Gambar
Bukan Malas, Tapi Menghindari Shalat Dalam Keadaan Was Was *Selama Masih Ada Wabah, Berlaku Keringanan Shalat Di Rumah* Sebagian orang di masa wabah ini masih bingung shalat ke masjid atau tidak. Maka para ulama memfatwakan bahwa masih berlaku keringanan untuk shalat di rumah dan tidak menghadiri shalat Jum’at di masjid, selama ancaman wabah masih ada. Karena kondisi wabah masih belum mereda, resiko terkena bahaya dan membahayakan orang lain masih mengintai. Hai’ah Kibaril Ulama menetapkan: من خشي أن يتضرر أو يضر غيره فيرخص له في عدم شهود الجمعة والجماعة لقوله صلى الله عليه وسلم: ( لا ضرر ولا ضرار) رواه ابن ماجه. وفي كل ما ذكر إذا لم يشهد الجمعة فإنه يصليها ظهراً أربع ركعات “Barangsiapa khawatir terkena bahaya atau khawatir membahayakan orang lain, maka ada keringanan baginya untuk tidak menghadiri shalat Jum’at dan shalat Jama’ah. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alahi Wasallam: “tidak boleh membiarkan bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah). Bagi orang-oran