SEBELAS KARAKTER IBAADUR RAHMAAN

Gambar
SEBELAS KARAKTER IBAADUR RAHMAAN (QS. AL FURQON AYAT 63-77) =========== 🌷 *PENDAHULUAN* Allah menceritakan sosok hamba-hamba teladan kepada kita untuk kita tiru kebaikan mereka, agar kita mendapatkan pahala dan kedudukan yang sama dengan mereka. Allah berfirman : “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.” Mereka itulah yang dikenal dengan IBAADUR RAHMAN (Hamba-Hambanya Allah Yang Maha Pengasih). Allah menyebutkan SEBELAS KARAKTER/ CIRI mereka dengan rinci di dalam Al-Qur’an (QS. Al-Furqan : 63-77). 1️⃣ CIRI PERTAMA: *Rendah hati dan menyikapi kebodohan orang dengan cara yang baik* وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا Allah berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha

Haramnya Beranggapan Sial dengan Bulan Shafar





Judul Khutbah  : Haramnya Beranggapan Sial dengan Bulan Shafar dan Selainnya
Kota                 : Al Malaz, Riyadh, Arab Saudi
Masjid             : Masjid Jami’ Al Amir Mut’ib Al Gharbi
Khatib              : Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafidhahullah

 Kerangka Khutbah :
1.      Hakikat Anggapan Sial dan Thiyarah
2.      Haramnya Anggapan Sial dan Thiyarah
3.      Tidak Ada Thiyarah, Anggapan Sial dengan Burung Hantu dan Bulan Shafar
4.      Ketika Mereka Mencela Allah

Tujuan  : Peringatan dari Anggapan Sial dan Thiyarah serta Penjelasan Akan Haramnya Hal Tersebut

الحمد لله الذي له ما في السماوات وما في الأرض، وله الحمد في الآخرة وهو الحكيم الخبير، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله البشير النذير، والسراج المنير، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان، وسلم تسليماً.
Amma ba’d,
Ayyuhan nas, bertakwalah kepada Allah dan gantungkan harapan-harapan kalian kepada-Nya. Bertawakallah kepada-Nya, harapkanlah pahalaNya, dan takutlah akan hukumanNya.
فَابْتَغُوا عِندَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan.” (Al ‘Ankabut : 17)
Di antara manusia ada orang-orang yang beranggapan sial dengan individu dan waktu-waktu tertentu, dan menyangka bahwa dia ditimpa kesialan darinya karena individu atau waktu itu sendiri, bukan dengan takdir Allah. Ini adalah thiyarah yang dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah beliau kabarkan bahwa perbuatan itu termasuk kesyirikan. Karena orang yang melakukan tathayyur dan beranggapan sial percaya bahwa apa yang menimpa mereka berupa hal-hal yang tidak disenangi itu berasal dari kesialan makhluk seperti waktu, tempat, atau seseorang sehingga diapun membenci orang, waktu, atau tempat itu serta lari darinya karena menyangka bahwa makhluk-makhluk tadi akan mendatangkan kesialan baginya. Dia lupa atau pura-pura bodoh bahwa apa yang menimpanya adalah dengan qadha dan qadar Allah, serta dengan sebab dosa orang itu. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah tentang umat-umat yang kafir bahwa mereka bertathayyur, beranggapan sial dengan orang-orang yang merupakan sumber kebaikan, yaitu para nabi dan orang-orang beriman . Allah mengatakan tentang kaum Fir’aun: 
وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ
“Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya.” (Al A’raf : 131).
Demikian pula Tsamud, mereka beranggapan sial dengan nabi mereka, yaitu Shalih ‘alaihis salam :
قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَن مَّعَكَ
“Mereka menjawab: "Kami bernasib malang disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu." “(An Naml : 47).
Demikian juga orang-orang musyrik di Arab, mereka beranggapan sial dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana Allah berfirman tentang mereka:
وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِندِ اللَّهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِندِكَ
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". (An Nisa’ : 78).
Maka Allah membantah mereka bahwa apa yang menimpa mereka berupa hukuman-hukuman dan hal-hal yang tidak disenangi adalah dengan takdir Allah serta dengan sebab dosa-dosa mereka.
مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh maka itu adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (An Nisa’ : 79).
Ini termasuk bentuk dari terbaliknya fitrah mereka, di mana mereka beranggapan jelek atau sial dengan orang yang merupakan sumber kebaikan.
‘Ibadallah, di antara anggapan sial dan tathayyur adalah apa yang diyakini oleh orang-orang Jahiliyyah tentang bulan Shafar, bahwa bulan itu adalah bulan sial. Sehingga merekapun enggan untuk melakukan amalan-amalan yang dibolehkan yang biasanya mereka lakukan di bulan yang lain. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan batilnya anggapan tersebut dengan sabda beliau :
لَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ
“Tidak ada penyakit menular dan tidak ada pula Hamah (merasa sial dengan adanya burung hantu, edt.), dan tidak ada pula (merasa sial dengan) bulan Shafar.” (HR Imam al-Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220)

Hadits tersebut menafikan apa yang dahulu diyakini oleh orang-orang Jahiliyyah bahwa penyakit-penyakit bisa menular dengan sendirinya tanpa disertai keyakinan akan takdir Allah terhadap hal itu. Allah ta’ala berfirman :

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Al Hadid : 22).
Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : وَلَا هَامَةَ
الهامة maknanya adalah burung hantu. Maksudnya adalah menafikan keyakinan orang-orang Jahiliyyah tentangnya bahwa jika burung itu hinggap di atas rumah salah seorang dari mereka, mereka merasa akan mendapat kesialan, dan yakin bahwa dia atau salah seorang anggota keluarganya akan mati. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan hal itu dan menyatakan batilnya anggapan tersebut.
Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : ولا صفر
Menurut pendapat yang shahih adalah bahwa orang-orang Jahiliyyah dahulu beranggapan sial dengan bulan Shafar. Mereka mengatakan : “Sesungguhnya bulan itu adalah bulan sial.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan batilnya anggapan tersebut, dan beliau menjelaskan bahwa bulan Shafar tidak memiliki pengaruh itu. Bulan itu sama seperti waktu-waktu yang lain yang dijadikan oleh Allah sebagai kesempatan untuk melaksanakna amalan-amalan yang bermanfaat.
Keyakinan Jahiliyyah ini masih terdapat pada sebagian orang sampai hari ini. Di antara mereka ada yang beranggapan sial dengan bulan Shafar. Sebagian dari mereka ada yang beranggapan sial dengan hari-hari tertentu seperti hari Rabu, Sabtu, atau hari lain sehingga mereka tidak mau melaksanakan pernikahan pada hari-hari tersebut. Mereka meyakini atau menyangka bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut tidak akan diberkahi. Hal ini sebagaimana orang-orang Jahiliyyah dahulu beranggapan sial dengan bulan Syawal sehingga tidak mau melaksanakan pernikahan pada bulan itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh telah menunjukkan batilnya anggapan tersebut, di mana beliau menikahi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di bulan Syawal. Begitu pula beliau menikah dengan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha di bulan Syawal.
Ayyuhal muslimun, sesungguhnya kebaikan, kejelekan, nikmat-nikmat, dan berbagai macam musibah, semua itu adalah dengan takdir Allah.
قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِندِ اللَّهِ
“Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah".” (An Nisa’ : 78)

Dialah Allah yang menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih. Dan apa yang menimpa para hamba berupa kejelekan dan hukuman, maka sesungguhnya Allah telah mentakdirkan hal itu atas mereka karena dosa-dosa dan kemaksiatan mereka.
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri.” (Asy Syura’ : 30).
Makhluk tidak memiliki campur tangan dalam menetapkan dan mengadakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ  يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفِ
“Ketahuilah sesungguhnya jika suatu umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu dengan sesuatu , niscaya mereka tidak bisa mencelakakanmu kecuali dengan apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering. (Riwayat Tirmidzi, dan beliau berkata : Hadits hasan shahih).
Hal ini tidaklah menafikan bahwa Allah menjadikan sebagian makhluk sebagai sebab datangnya kebaikan atau kejelekan. Akan tetapi bukan sebab-sebab itulah yang menciptakan kebaikan dan kejelekan tadi. Hal itu kembali kepada Pencipta sebab tersebut, yaitu Allah Yang Maha Suci. Yang dituntut dari seorang hamba adalah melaksanakan sebab-sebab kebaikan dan menjauhi sebab-sebab kejelekan. Allah ta’ala berfirman :
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al Baqarah : 195).
Al Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
Adapun mengkhususkan anggapan sial dengan sebuah waktu seperti bulan Shafar atau yang lainnya maka itu adalah perbuatan yang tidak benar. Seluruh waktu adalah ciptaan Allah ta’ala. Di dalamnya terjadi perbuatan-perbuatan anak Adam, sehingga setiap waktu yang digunakan oleh seorang mu’min untuk ketaatan maka itu adalah waktu yang diberkahi baginya. Dan setiap waktu yang digunakan oleh seorang hamba untuk bermaksiat kepada Allah maka itu menjadi kesialan baginya. Kesialan atau kejelekan pada hakikatnya terdapat pada kemaksiatan. Kemaksiatan dan dosa-dosa akan menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla murka. Jika Allah telah murka kepada seorang hamba, maka orang itu akan celaka di dunia dan akhirat. Sebagaimana ketaatan dapat mendatangkan keridhaan Allah Yang Maha Suci. Jika Allah telah ridha kepada hambaNya, maka orang itu akan bahagia di dunia dan akhirat.
Orang yang bermaksiat menjadi sebab kejelekan bagi dirinya sendiri dan orang lain, karena tidak ada jaminan keamanan bahwa dirinya tidak akan ditimpa adzab, lalu adzab itu merata mengenai orang lain, terkhusus orang-orang yang tidak mengingkari kemaksiatannya. Sehingga menjauhi orang itu adalah suatu keharusan. Demikian pula tempat-tempat maksiat harus dijauhi karena khawatir akan turunnya adzab, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat beliau ketika melewati perkampungan kaum Tsamud di daerah Al Hijr :
لَا تَدْخُلُوا عَلَى هٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِيْنَ إِلَّا أَنْ تَكُوْنُوا بَاكِيْنَ خَشْيَةَ أَنْ يُصِيْبَكُمْ مَا أَصَابَهُمْ
“Janganlah kalian memasuki daerah orang-orang yang diadzab ini kecuali dalam keadaan menangis karena khawatir kalian akan ditimpa apa yang telah menimpa mereka.”
Maka berhijrah atau menjauh dari tempat-tempat maksiat serta para pelaku maksiat merupakan bentuk hijrah yang diperintahkan, karena orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata :
مَنْ أَرَادَ التَّوْبَةَ فَلْيَخْرُجْ مِنَ الْمَظَالِمِ، وَلْيَدَعْ مُخَالَطَةَ مَنْ كَانَ يُخَالِطُهُ – يَعْنِي: العُصَاةَ-، وَإِلَّالَمْ يَنَلْ مَا يُرِيْدُ
“Barangsiapa yang ingin bertaubat maka hendaknya dia keluar dari berbagai bentuk kedhaliman dan meninggalkan pergaulan dengan orang-orang yang dulunya dia bergaul dengannya – yaitu para pelaku maksiat -. Jika dia tidak melakukannya, maka dia tidak akan sampai kepada keinginannya (untuk bertaubat).”
Maka berhati-hatilah terhadap dosa, karena dosa merupakan kesialan dan hukumannya sangat pedih. Tempat-tempat pada asalnya suci dan bersih, tetapi dosa-dosa para hamba mengotori dan merusaknya. Waktu-waktu yang ada juga merupakan kesempatan untuk beramal baik, akan tetapi hamba mengotorinya dengan amalan jelek. Sebagaimana dikatakan :
نَعِيْبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا           وَمَا لِزَمَانِنَا عَيْبٌ سِوَانَا
Kita mencela zaman kita padahal aibnya ada pada kita
Dan zaman kita tidaklah memiliki aib selain kita

Ibadallah, maka bertakwalah kepada Allah. Ramaikan rumah-rumah dan waktu-waktu kalian dengan ketaatan kepada Allah. Gantungkan hati kalian dengan takut, berharap, dan cinta kepada Allah. Hendaknya kalian mencela diri sendiri, dan ketahuilah bahwa apa yang menimpa kalian berupa perkara yang tidak kalian senangi sebabnya adalah dosa-dosa kalian, bukan karena kesialan waktu dan tertentu. Sebabnya adalah jeleknya amala seseorang. Barangsiapa yang menanggap sial dengan bulan, hari, atau jam tertentu, atau mencela sesuatu dari waktu tersebut berarti dia telah mencela dan menyakiti Allah ta’ala.  Sebagaimana terdapat dalam Ash Shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. beliau bersabda : “Allah ta’ala berfirman :
يُؤْذِيْنِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Anak Adam telah menyakitiKu. Dia mencela masa, padahal Akulah (Pengatur) masa itu, aku membolak-balikkan malam dan siang.”
Dalam sebuah riwayat :
لَا تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
“Janganlah kalian mencela masa, karena Allah Dialah Pengatur masa itu.”
Al Imam Al Baghawi rahimahullah berkata dalam Syarhus Sunnah :
“Maknanya adalah bahwa di antara kebiasaan orang-orang Arab dahulu adalah mencela masa, yaitu mencercanya ketika ada musibah. Karena dahulu mereka menyandarkan apa yang menimpa mereka berupa musibah dan hal-hal yang dibenci kepada masa. Mereka mengatakan : ‘Mereka ditimpa bencana masa,’ dan ‘Mereka telah dibinasakan oleh waktu.’ Jika mereka telah menyandarkan kepada masa apa yang menimpa mereka berupa hal-hal yang menyusahkan, maka mereka mencela Dzat yang mengatur waktu itu, sehingga kembalinya celaan itu adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab Dialah Pengatur waktu secara hakiki. Dan apa yang berjalan di dalam waktu berupa kebaikan dan kejelekan itu adalah dengan kehendak Allah. Kebaikan merupakan karunia Allah, sedangkan kejelekan adalah dengan sebab dosa-dosa dan maksiat para hamba.”
وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِندِ اللَّهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِندِكَ ۚ قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِندِ اللَّهِ ۖ فَمَالِ هَٰؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا ﴿٧٨﴾ مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا ﴿٧٩﴾ مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ﴿٨٠﴾
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan jika mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
Apa saja nikmat yang kamu peroleh maka itu adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia, dan cukuplah Allah menjadi saksi.
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An Nisa’ : 78-80).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Harus Sabar dalam Menuntut Ilmu

Tabir Pembatas di Dalam Masjid